Kalau kita membaca kembali sejarah peradaban islam,
Ada tradisi menarik di kalangan para ulama dimasa lalu yang sepertinya sudah
jarang kita temui di era sekarang. Tradisi tersebut Yaitu Tradisi menulis kitab
sebagai respon atau reaksi terhadap karya-karya guru mereka atau ulama
sebelumnya. Tradisi ini berlaku umum hampir disemua disiplin keilmuan islam
dimasa lalu utamanya dibidang fikih. Maka Jika kita perhatikan akan kita dapati
sebuah mata rantai penulisan kitab-kitab fikih terutama fikih madzhab syafi’i.
Jika kita membaca karya-karya ulama madzhab
Syafi’i, maka akan kita jumpai kitab-kitab tersebut terdiri dari lima format
yaitu matan, Syarah, khasiya, khulashoh atau mukhtashr dan nadzom
atau syair Kitab yang berbentuk
matan, biasanya kitab jenis ini ditulis secara singkat dan padat, isinya hanya
membahas poin-poin utamanya saja. Kemudian berangkat Dari kitab yang berbentuk matan,
muncul kitab jenis kedua yang secara khusus menjelaskan kitab matan tersebut, bahkan
sampai kata perkata, kalimat perkalimat yang kemudian dinamakan dengan Syarah.
Tak berhenti di situ saja, sebagian kitab-kitab syarah bahkan dikembangkan lagi
oleh ulama setelahnya dengan memberikan komentar, catatan, tanggapan maupun
kritikan atas kitab syarah tersebut yang kemudian dinamakan hasyiyah.
Simak penjelasan Materi tulisan ini versi youtube
Lalu masing-masing dari kitab-kitab tersebut
baik yang berbentuk matan, syarah, maupun khasiyah kemudian diringkas oleh
ulama setelahnya dan memunculkan kitab jenis keempat yang dinamakan dengan Khulashoh/mukhtashar
(ringkasan). Kemudian Ada juga ulama
yang menadzomkan (mensya’irkan) kitab kitab tersebut agar mudah
dihafal.dan indah ketika dibaca hingga akhirnya muncullah kitab-kitab jenis
kelima yaitu kitab-kitab yang berbentuk Nadzom (sya’r).
Kemudian dari nadzam tersebut, atau mukhtashor
tersebut dijelaskan lagi dalam bentuk narasi menjadi sebuah kitab baru. Maka
jangan heran jika kita mendapati sebuah kitab yang diringkas menjadi
mukhtashar, kemudian diperjelas menjadi syarah, lalu diberi komentar menjadi
hasyiyah, dan diringkas lagi menjadi mukhtashar. Begitu seterusnya muter terus.
Contoh didalam madzhab Syafi’i terdapat empat
kitab induk yang menjadi pangkal atau pokok ajaran madzhab ini. Yaitu: 1. Al-Umm,
2. al-Imla’, 3. Mukhtashar al-Buwayti, dan 4. Mukhtashar al-Muzani. Dua
kitab yang pertama ditulis langsung oleh Imam Syafi’i. sedangkan dua yang
terakhir ditulis oleh dua murid utamanya yakni Imam al-Buwayti dan Imam al-Muzani.
Dari empat kitab inilah kemudian munculah kitab-kitab fikih madzhab Syafi’I
yang sangat banyak.
Kronologinya adalah sebagai berikut: empat
kitab induk madzhab syafi’i tersebut Oleh Imam Haromain al-Juwayni dipadukan
dan dikombinasikan menjadi sebuah kitab baru bernama Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab.
Pasca ditulisnya kitab Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab tersebut Oleh Imam
Haromain al-Juwayni, maka para ulama madzhab Syafi’I awalnya hanya mencukupkan saja
untuk merujuk kedalam kitab tersebut sebagai buku pegangan mereka. namun karena
kitab tersebut sangat besar, maka kemudian hari kitab tersebut diringkas Oleh
murid dari Imam haromain al-Juwayni yang paling menonjol yang bernama Imam al-Ghazali.
Imam al-Ghazali meringkas kitab gurunya tersebut menjadi sebuah kitab baru yang
diberi nama al-Basith. Kemudian Imam al-Ghazali meringkas lagi
kitabnya tadi yakni al-basit menjadi kitab baru yang diberi nama al-Wasith,
kemudian Imam al-Ghazali meringkas lagi kitabnya tadi yakni al-wasit
menjadi sebuah kitab yang diberi nama al-Wajiz, masih tidak puas,
Imam al-Ghazali meringkas lagi kitabnya tadi yakni al-wajiz menjadi sebuah
kitab baru yang diberi nama al-Khulashah.
Kemudian hari datanglah Imam al-Rafi’I
Meringkas kitab al-Wajiz karya imam al-Ghazali menjadi sebuah kitab baru yang
diberi nama al-Muharrar, kemudian datang Imam al-Nawawi meringkas
kitab al-Muharrar karya Imam al-Rafi’I menjadi sebuah kitab baru yang diberi
nama Minhajut Thalibin, kemudian datang Syaikhul Islam Zakariya
al-Anshari meringkas kitab Minhajut Thalibin karya Imam al-Nawawi menjadi
sebuah kitab baru yang diberi nama Manhajut Thullab. Kemudian
Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari mensyarah atau memberikan penjelasan
terhadap kitabnya sendiri yakni Manhajut Thullab menjadi sebuah kitab baru yang
diberi nama Fathul Wahhab. Kemudian kitab Fathul Wahhab karya
Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari ini dikomentari (hasyiyah) oleh dua ulama
setelahnya yaitu: pertama oleh syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairomi menjadi
sebuah itab baru yang bernama hasyiyah al-Bujairomi dan yang
kedua oleh syaikh Sulaiman bin Umar al-Jamal menjadi sebuah kitab baru yang
terkenal dengan nama hasyiyah al-jamal ‘ala syarah manhaj. Selain
itu kitab Manhajut Thullab karangan Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari juga
diringkas oleh imam al-Jauhari menjadi sebuah kitab baru yang diberi nama al-Nahj.
Kemudian juga kitab Minhajut Thalibin karya
imam al-nawawi Selain diringkas oleh ulama setelahnya, kitab ini juga diberi
penjelasan (syarah) oleh banyak ulama menjadi kitab baru yang berbeda-beda.
Diantaranya adalah oleh imam al-Mahally dengan nama Kanzur Raghibin,
lalu oleh imam ibnu hajar al-haitami dengan nama Tuhfatul Muhtaj,
lalu oleh imam al-Ramli dengan nama Nihayatul Muhtaj, lalu
oleh imam al-Syarbini dengan nama Mughnil
Muhtaj. Lalu oleh taqiyudin as-subqi dengan nama al-Ibhaj, dan
oleh imam al-adzra’I dengan nama Qut al-Muhtaj
Kemudian kitab Kanzur Raghibin karangan imam
al-Mahally dikomentari oleh dua ulama setelahnya yakni oleh Imam Qolyubi dan Imam
Umairoh menjadi kitab baru yang kemudian dikenal dengan Hasyiyatani
Qolyubi wa Umairoh. Sementara kitab Tuhfatul Muhtaj karangan ibnu hajar
al haitami juga dikomentari oleh dua ulama setelahnya yakni oleh Imam As-Syarwani
dan Imam Ibnu Qosim al-Ubadi menjadi sebuah kitab baru yang diberi nama Hasyiyah
al-Syarwani wa Ibnu Qosim al-Abbadi ‘ala Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Minhaj. Lalu
Kitab Nihayatul Muhtaj karangan imam al ramli juga dikomentari oleh dua ulama
setelahnya yakni oleh Imam Ali Syibromalisi dan Imam Ali al-Maghribi. Sebenarnya masih
ada kitab-kitab komentar lainnya, hanya saja kurang populer di kalangan ulama.
Kembali lagi ke Imam al-Rafi’i. Selain
meringkas kitab al-Wajisnya imam al Ghazali, beliau juga menulis dua kitab
syarah atau penjelasan atas kitab tersebut yakni syarah sederhana tak bernama
dan syarah tebal dengan judul Fathul Aziz. Adapula yang
menyebutnya al-Syarh al-Kabir. Lalu al-Syarh al-Kabir karya Imam
al-rafi’i ini diringkas oleh imam al-Nawawi menjadi kitab baru yang bernama Raudlatut
Thalibin, yang kemudian diringkas lagi oleh setidaknya tiga
ulama setelahnya yakni:
·
Yang Pertama, oleh imam Ibnu Muqri menjadi
sebuah kitab baru yang berjudul Raudlatut Thalib. Kitab Raudlut
Thalib ini kemudian dijelaskan atau diberi syarah oleh Syekh Zakariya
al-Anshari menjadi sebuah kitab baru dengan judul Asnal Mathalib
lalu Kitab Asnal Mathalib karya Syekh Zakariya al-Anshari ini diringkas oleh imam
Ibnu Hajar al-Haitami menjadi sebuah kitab baru dengan judul al-Na’im,
hanya saja kitab ini tidak dapat kita temukan.
·
Yang Kedua, oleh imam al-Muzajjad menjadi
sebuah kitab baru yang berjudul al-‘Ubab, yang kemudian
hari diberi penjelasan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjadi kitab baru dengan
judul al-I’ab Hanya saja penulisan syarah ini belum sempurna.
·
Yang Ketiga, oleh Imam al-Suyuthi menjadi
sebuah kitab baru yang berjudul dengan judul al-Ghunyyah, yang kemudian
di-nadzam-kan oleh beliau sendiri menjadi sebuah kitab baru yang berjudul al-Khulashah.
Tidak hanya imam al-Nawawi saja yang meringkas
kitab fathul al-Aziz karya imam al-Rafi’i ini, kitab ini juga diringkas oleh imam
Al-Qazwaini menjadi sebuah kitab baru dengan judul al-Hawi al-Shaghir,
yang kemudian di-nadzam-kan oleh imam Ibnul Wardi menjadi kitab baru dengan
judul al-Bahjah al-wardiyyah. Dan kemudian hari Imam Zakariya
al-Anshari menulis kitab syarah atau penjelasan atas kitab al-bahjah wardiyyah.
karya imam ibnul wardi ini menjadi kitab baru
yang bernama Al-Ghurarul Baghiyah.
Kembali ke Kitab al-Hawi al-Shaghir
karangan Imam Al-Qazwini selain di nadzomkan oleh ibnul wardi juga diringkas
oleh Imam Ibnu al-Muqri dengan kitabnya yang bernama Al-Irsyad,
kemudian kitab al-Irsyad karangan Ibnu al-Muqri ini disyarahi oleh Ibnu Hajar
al-Haitami dengan kitabnya yang diberi judul Fathu al-Jawad dan
kitab al-Imdad. Selain yang telah disebutkan diatas terdapat juga Kitab-kitab
fikih madzhab syafi’I lain yang popular dikalangan pondok pesantren diindonesia
antara lain yaitu Kitab Fathul Mu’in karangan al-Malibari, Kitab I’anahtut
Thalibin karangan Said Abu Bakar Syatha, kitab Nadzom Zubad
karang Imam Ibnu Ruslan Dan masih banyak lagi.
Selain kitab-kitab mukhtashar, matan, syarah,
hasyiyah, dan nadzom terdapat juga kitab-kitab karya ulama madzhab Syafi’i yang
meneliti dari sisi hadisnya. Mereka mentakhrij hadis-hadis yang disebutkan dalam kitab tertentu kemudian meneliti
kualitas hadits tersebut. Di antara ulama yang menekuni bidang ini adalah Ibnu
Hajar al-Asqalani yang menulis kitab al-Talkhish al-Habir sebagai
kitab yang men-takhrij hadis-hadis yang ada di kitab al-Syarh al-Kabir karya
al-Rafi’i. Kemudian imam Ibnu al-Mulaqqin juga men-takhrij hadis-hadis yang ada
di kitab tersebut dalam kitabnya yang berjudul al-Badr al-Munir.
beliau juga menulis kitab Tuhfatul Muhtaj ila Adillatil-Minhaj
yang merupakan kitab takhrij hadis-hadis yang ada di kitab Minhajut Thalibin
karya al-Nawawi. Dan yang terakhir, terdapat kitab Misbahul Munir karya
al-Fayumi. Kitab ini memuat penjelasan-penjelasan tentang
istilah-istilah yang digunakan oleh imam al-Rafi’i didalam kitab al-Syarh
al-Kabir. Karya al-Fayumi ini kemudian menjadi rujukan ulama-ulama setelahnya
dalam memahami kata-kata yang asing di kalangan madzhab Syafi’i.
Demikianlah Contoh Apa yang ditulis oleh
ulama-ulama masa lampau semoga bisa menambah khazanah keilmuan di kalangan
penganut madzhab Syafi’I yang mayoritas dianut oleh kaum muslimin diindonesia.
Karya-karya tersebut yang berupa ringkasan, penjelasan, maupun komentar,
menjadi mata rantai ketersambungan antara satu ulama dengan ulama lainnya.
Dan menjadi semacam penghormatan dari
seorang ulama terhadap guru ataupun ulama yang mendahuluinya. Rasa ta’dzim yang
begitu tinggi diungkapkan dalam bentuk karya yang merespon karya ulama
sebelumnya yang dihormatinya..
Tradisi seperti inilah yang kini telah hilang
dikalangan ulama-ulama kita dewasa ini. Tradisi meringkas, memperjelas, dan
memberi komentar karya ulama-ulama salaf. Kini, sukar sekali kita temukan.
Padahal sekitar 100 atau 200 tahun yang lalu tradisi semacam ini masih kita
jumpai dikalangan ulama-ulama kita semisal Imam Nawawi Banten yang menulis
kitab Nihayatuz Zain Syarah Qurratul Ain, atau Syekh Mahfudz Termas yang
menulis Mauhibatu Dzil Fadhl Syarah Minhajul Qowim, atau Kyai Sahal Mahfudz
yang menulis Anwarul Bashair Syarah al-Asybah wa al-Nadzair. Alih-alih meneruskan
tradisi ini, menulis kitab berbahasa Arab saja kini sangat jarang kita temukan.
Wallahu a’lam.
Post a Comment